NAMANYA BULAN



Karya: Burung Gereja

Malam semakin larut dan jam sudah menunjukkan pukul satu lebih seperempat menit. Aku memacu motorku di kecepatan enam puluh kilometer per jam menuju Bekasi. Jalanan yang sesak dalam kondisi pembangunan proyek daerah mulai menyuguhkan sepi tanpa tawar menawar lebih dahulu. Aku tidak menyukai sepi, maka dari itu aku tidak begitu betah berlama-lama di kosku yang notabene dihuni oleh para pekerja kantoran yang menempatkan kos sebagai tempat beristirahat dan mencuci tubuh dari bekas-bekas kelelahan.
Aku selalu ingat kata teman-temanku di komunitas ojek online yang kuikuti sejak enam bulan lalu. “Hati-hati kalau pulang larut malam. Apalagi menuju Bekasi, banyak begalnya itu.” Aku mulai merinding. Bulu kudukku menegak kaku. Ini kali kesekian aku pulang larut malam tapi tidak seorang diri. Biasanya ada Jerry, teman sekosku, yang ikut pulang bersamaku. 
Jerry mengabariku tadi sore bahwa ia mendadak diminta ke Bandung bersama anggota senat mahasiswa untuk melakukan survei tempat kegiatan tahunan fakultasnya. Ia menitipkan kunci kosnya pada Kiara, salah satu teman kosku juga. Ia tidak pernah mau lagi menitipkan kunci kosnya padaku karena aku pasti akan  menghabiskan snack yang setiap bulan dikirimkan orang tuanya.
Harsilianus Dwi Ananda, itulah nama asli Jerry. Entah bagaimana ia bisa dipanggil Jerry tak pernah ada cerita di antara kami, bahkan sempat aku bertanya beberapa kali, Ia selalu mengalihkan pembicaraan. Aku mengetahui nama asli Jerry dari akta kelahirannya yang ia tinggalkan di kosku beberapa bulan setelah kami berkenalan. 
Jerry termasuk mahasiswa berprestasi. Ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah kota tempat kelahirannya sampai dengan tingkat magister. Hal ini sangatlah berbeda denganku yang hidup seorang diri sejak kelas lima SD. Orang tuaku meninggal karena kecelakaan kapal ketika hendak menghadiri pesta pernikahan adik ibuku. Kesedihan mendalam menusuk jiwaku kala itu sehingga hampir dua tahun lamanya aku terluntang-lantung di jalanan sampai pada akhirnya seorang ibu mengangkat aku sebagai anaknya.
Rara Kusumajaya, itulah nama ibu angkatku. Kini ia sedang menikmati hari tuanya di sebuah desa di pedalaman kalimantan. Tempat itu dipilihnya sendiri sebagai sebuah permohonan kepadaku ketika aku hampir menyelesaikan masa SMAku. Sejujurnya aku tidak mau ia berada di sana. Aku mau ia terus bersamaku di manapun aku berada. Aku ingin merawatnya seperti ketika ia merawatku sampai saat ini. Namun, ia memaksa. Aku tidak bisa berbuat banyak.
Aku sempat berpikir bahwa dengan mengabulkan permohonannya aku sudah membalas semua kebaikannya. Tapi itu salah. Apa yang ia lakukan kepadaku adalah untuk meleburkan kesedihannya yang mendalam terhadap anak perempuannya yang dibawa pergi suaminya. Aku mengetahui ini ketika aku berkunjung ke tempat ia menikmati hari tuanya setahun yang lalu.
“Namanya Bulan Ayu Kusuma. Mungkin kalau ia berada di sini sekarang umurnya akan sama denganmu, nak. Ibu sangat kehilangan anak gadis ibu satu-satunya. Maafkan ibu baru menceritakan hal ini padamu sekarang.” Ibu angkatku bercerita sambil memegang foto anak gadisnya, Bulan, ketika masih kecil.
Aku berjanji pada ibu angkatku untuk menemukan Bulan yang dibawa pergi oleh suaminya dalam keadaan apapun. Ibu angkatku menatap sedih ke arahku. Ia memelukku erat. “Nak, cukup sudah masa lalu itu berlalu. Ibu hanya bisa berdoa agar Bulan, anak ibu, dalam keadaan sehat dan dapat hidup enak. Sekarang ibu sudah ada kamu, sudah cukup. Ibu sudah anggap kamu anak kandung ibu sendiri. Ibu ga mau kehilangan kamu seperti ibu kehilangan Bulan.” Ada nada-nada kesungguhan di sana yang membakar diriku untuk berusaha menemukan Bulan.
Pukul dua lebih lima menit aku sampai di kosku dan segera memarkirkan motor di tempat parkir yang disediakan. Sebelum menuju kosku yang berada di lantai dua, aku menyempatkan diri untuk duduk sejenak di sebuah kursi di bawah pohon mangga sambil menatap bulan yang bersinar terang di langit malam. “Bulan, adik angkatku. Kamu di mana? Ibu merindukan kamu.”
Janjiku pada ibu angkatku untuk menemukan Bulan selalu kuusahakan. Sebagai driver ojek online aku memanfaatkan pekerjaanku untuk bertanya kepada seluruh penumpang yang aku antar, mungkin saja ada yang mengenalnya. Beberapa penumpang merasa mengenal seorang perempuan bernama Bulan, namun yang kutemukan bukan Bulan Ayu Kusuma melainkan Bulan-bulan dengan segala embel-embel nama yang jelas berbeda.
Aku sempat berpikir untuk meminta bantuan polisi, namun aku tidak merasa yakin bahwa polisi akan menemukannya karena aku tidak mempunyai foto Bulan yang tentunya sudah bertumbuh menjadi seorang perempuan cantik sekarang ini. Maka kuubah niatku dengan meminta bantuan kepada seluruh teman-teman di komunitas ojek online yang aku ikuti.
Bulan/yang bersinar terang di langit malam/menangkup percakapan/dan kelelahan//Kuartikan namamu dalam angan/sebelum kita bertemu dalam tatapan/Kau menjadi penerang manusia yang kelam//Bulan/adik angkatku tersayang/aku membawa rindu ibu yang kelelahan menjelang kematian.
“Tolong…. Tolong…” Aku mendengar suara dari arah jalanan di depan kosku. Namun aku tidak merasa yakin terhadap apa yang aku dengar sebab Kiara pernah bercerita bahwa ia pernah mendengar suara orang minta tolong dari arah jalanan di depan kos, setelah di cek tidak ada siapa-siapa. Aku kembali merinding. Dua kali dalam beberapa jam ini.
“Tolong… Tolong…” Aku kembali mendengar suara itu dan sekarang sangat jelas berdengung di telingaku. Secepat kilat aku beranjak menuju jalanan di depan kosku. Aku mendapati dua orang laki-laki sedang mengacungkan pisau kecil ke arah seorang perempuan di bawah lampu jalan. Aku mendekati mereka dan langsung menghajar dua laki-laki yang memiliki badan lebih besar dariku. Beruntung aku sempat mengikuti pelajaran tambahan bela diri ketika masa SMA dan aku masih ingat beberapa gerakannya.
Setelah menghajar kedua laki-laki itu aku mendekati perempuan yang bersender di tiang lampu jalan. Nampak jelas raut ketakutan dari wajahnya. “Kamu sudah aman. Mari kuantarkan pulang.” perempuan itu tidak menjawab, namun gerakan badannya seperti menolak ajakanku. Akhirnya kuantarkan ia menuju rumah ibu kosku.
Betapa terkejutnya ibu kosku ketika aku membawa seorang perempuan ke rumahnya. “Ragil. Kamu ngapain bawa perempuan dini hari begini ke rumah ibu. Kamu dari mana aja baru pulang jam segini, lalu perempuan ini siapa?.” Aku menerobos masuk sambil menarik perempuan yang kutolong tadi ke dalam tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan ibu kosku. Aku melakukan ini karena tidak ingin suara ibu kos membangunkan teman-temanku yang sudah tidur.
Aku menjelaskan kejadian yang baru saja terjadi di jalanan depan kos kepada ibu kosku. Ceritaku cukup membuat ibu kosku tenang dan segera membuatkan teh hangat untuk perempuan yang kutolong. Saat ibu kosku membuatkan teh, aku coba menanyakan nama perempuan yang duduk di sampingku, namun tidak ada jawaban. Wajahnya masih di selimuti ketakutan.
“Bu, saya mohon izin perempuan ini dapat menginap di rumah ibu untuk sementara waktu sampai ia tenang. Kalau semuanya sudah selesai, Ragil akan bawa dia ke rumahnya lagi.” Ibu kosku mengangguk paham dan segera memintaku untuk membantu mengantarkan perempuan yang kutolong ke kamar untuk segera beristirahat. Setelah perempuan itu tertidur aku pamit kepada ibu kosku.
“Gil, perut kamu berdarah nak.” aku melihat ke arah perutku dan menemukan banyak darah yang merembes di kaos yang kukenakan. Aku menatap ibu kosku dan kemudian pandanganku kabur.
***
Aku menemukan diriku terbaring di sebuah ruangan yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.aku melihat ke sekeliling dan tidak menemukan siapapun kecuali tabung infus yang ujungnya berakhir di punggung tangan kiriku. Aku mencoba untuk bangkit namun rasa sakit dari bagian perutku menahan keinginanku.
“Kau sudah bangun, Ragil?.” Aku melihat ibu kosku masuk dan diikuti oleh seorang perempuan asing yang tersenyum ke arahku. Aku baru sadar perempuan itu yang aku tolong tadi malam di jalan depan kosku.
“Saya kenapa diinfus bu, emangnya saya sakit?,” tanyaku. Ibu kosku tersenyum kecil kemudian menjelaskan bahwa aku pingsan karena luka akibat sayatan pisau di perutku.
“Kamu beruntung sayatannya tidak dalam. Kalau tidak ibu pasti sudah menangis di depan tubuh kamu yang kaku.” Ibu kosku menerangkan. Aku tahu ia sedang mengejekku. Begitulah sifatnya yang tidak berubah sejak pertama kali aku memilih kos di sini. Aku memandangnya datar.
“Ra.. Ragil.” Aku memalingkan pandanganku ke arah perempuan di samping ibu kosku. “Maafkan aku. Kamu jadi diinfus gini karena nolongin aku.” Aku terdiam mendengar perkataanya, lebih tepatnya aku terdiam karena mendengar suaranya yang lembut. Ini kali ketiga aku mendengar suara lembuat seorang perempuan, yang pertama almarhum ibu kandungku dan yang kedua ibu angkatku. Aku hanya mengangguk kecil, karena tidak mampu berbicara sepatah katapun.
“Oh ya Ragil. Nama perempuan yang cantik ini adalah Rachel. Ibu belum pernah lihat kamu jalan sama cewek manapun, sepertinya kalian cocok karena nama kalian sama-sama diawali huruf R.” Aku memandang kaku ibu kosku. Teori cinta mana yang dia gunakan kalau kecocokan seseorang berasal dari awalan huruf nama yang sama. “Rachel pagi ini masak bubur buat kamu, kamu harus makan biar bisa sehat. Siapa tau suatu hari nanti ibu yang digangguin preman kamu yang nolongin.” Ibu kosku kemudian pergi meninggalkan aku dan Rachel.
Rachel membantuku bangun sehingga aku bisa bersender di kepala tempat tidur. Ia meraih semangkok bubur yang entah kapan sudah ada di atas meja di samping ranjang tempat tidurku. “Kalau enggak enak jangan dimuntahin ya, telan aja dulu baru bilang ga enak. Nanti aku usahakan buat yang lebih enak.” katanya menyimpulkan senyum sambil mengarahkan sesendok bubur ke bibirku. Aku terdiam sesaat setelah menyadari betapa manis senyuman Rachel.
“Aku teringat almarhum ibuku.” Kataku setelah menghabiskan semangkok bubur buatan Rachel. Ia terdiam kaku memandangku. Bibirnya bergetar kecil. Aku segera memalingkan wajahku ke langit-langit kamar. Aku tidak ingin menitihkan air mata ketika mengingat almarhum ibuku. Wajah almarhum ibuku tercetak jelas di sana, Keseluruhan wajahnya yang cantik jelita. Wanita pertama yang aku cintai setelah aku mampu berbicara dengan jelas. Ibu i love you.
“Kau mau mendengar cerita tentang ibuku? Aku masih menyimpannya dengan sangat jelas di kepalaku.” Tawarku. Rachel memandangku lama, cukup lama sampai akhirnya ia berkata. “Kalau itu tidak membuatmu sedih.” aku tersenyum.
Aku mulai bercerita tentang almarhum ibuku, dimulai dari ketika aku mampu memanggilnya ‘ibu’. Ceritaku melangkah satu demi satu mengikuti tahun-tahun ketika kami bersama, sebelum ia mengalami kecelakaan kapal yang merenggut nyawanya. Kuakhiri ceritaku dengan sosok ibu angkatku yang tidak jauh berbeda dari ibu kandungku. Kuselipkan juga cerita tentang anak kandung ibu angkatku yang hilang beberapa tahun silam. “Apakah kau mempunyai teman bernama Bulan Ayu Kusuma? Dia adik angkatku. Walaupun aku belum pernah bertemu dengannya aku sangat sayang padanya seperti aku menyayangi ibu angkatku.” Rachel diam cukup lama, berpikir barangkali kemudian menggeleng.
Ceritaku berakhir dengan hening yang sangat dalam, aku dan Rachel tenggelam di dalamnya. “Kalau kamu bagaimana, El?,” tanyaku bebrapa menit kemudian berusaha mencairkan suasana. Ia tersenyum sesaat kemudian memulai ceritanya.
Rachel lahir dan besar di Palembang. Ayahnya adalah pengusaha dengan kantor yang tersebar di beberapa kota di seluruh Indonesia. Ibunya adalah pemilik restoran empek-empek kapal selam terbesar di kota Palembang. Ia juga memiliki seorang kakak laki-laki yang sedang melanjutkan pendidikannya di luar negeri, nama kakaknya Adam. Kehidupan keluarga Rachel awalnya damai-damai saja sebelum akhirnya berantakan ketika pindah ke kota Jakarta. Ayahnya tertangkap basah sedang berselingkuh ketika ibunya berlibur ke kota Palembang. Hal ini membuat ibunya marah besar dan pergi membawa Rachel. Namun, kehidupan Rachel dan ibunya tidak begitu cocok setelah Rachel mendapati ibunya menjadi seorang pekerja seksual di sebuah club malam di Jakarta. Rachel pun memutuskan pergi dari rumah dan berhenti kuliah kemudian bekerja di sebuah cafe untuk menghidupinya.
Entah kekuatan dari mana yang membuatku berani untuk menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Rachel sedikit tertegun memandangku. Kemudian ia memelukku dan menumpahkan kesedihannya di dadaku yang bidang. 
“El. Kau tahu? Aku dulu selalu berpikir bahwa kehidupankulah yang paling miris dari orang-orang yang ada di dunia ini. Akulah yang paling terpuruk. Tapi setelah mendengar cerita kamu tadi, aku tahu bahwa masih ada kehidupan yang lebih miris lagi di luar sana. Cerita kita memang berbeda, tapi belum tentu kitalah yang paling terpuruk menghadapi kehidupan ini. Semua sudah Tuhan tentukan dan ada jalannya masing-masing.”
Rachel mengangguk. Kami saling melepas pelukan kemudian saling memandang. Entah apa yang membuat bibir kami kemudian saling berpagut, aku hanya menikmatinya.
***
“Maaf ya aku baru bisa jenguk kamu.” Kata Jerry di tengah nafasnya yang memburu. Ia baru saja pulang dari Bandung setelah beberapa hari menginap di sana. Ternyata kepergiannya bukan sekadar melakukan survei tapi turut juga melaksanakan acaranya. Aku hanya mengangguk kecil sambil menahan perih di perutku yang diguncang-guncang olehnya.
“Kata anak-anak kos, kamu menjadi pahlawan ya beberapa hari lalu? Terus cewek yang kamu tolongin itu katanya cantik, ke mana dia? Jadi pengen ketemu.” aku menggeleng kecil. Aku tahu Jerry tidak pernah dekat dengan seorang perempuan manapun selama kami saling mengenal.
“Tadi pergi ke pasar sama ibu kos. Jer, kamu tu terlalu lama jomblo. Makannya segera cari pacar biar kalau denger jenis kelamin cewek itu ga ngebet banget. Kebelet kawin yak.” Jerry menanggapi pernyataanku dengan tawa yang membahana membuat ulat-ulat di kupingku merapatkan barisan pertahanan.
“Jerry. Tertawa kamu itu ga berubah dari dulu.” Suara ibu kos membuat aku dan Jerry meilhat ke arah pintu. Ada Rachel juga di sana. Lalu aku melihat raut wajah Rachel yang mendadak berubah.
“kak…”
“A…A…Adek…”
Aku terdiam melihat Jerry dan Rachel yang saling bertemu pandang. Tak lama kemudian Rachel berlari keluar disusul Jerry. Untuk beberapa saat aku terpaku diam. Apakah mereka sudah mengenal sebelumnya? Adek… kakak…, gumamku. Sambil menahan perih di perut, aku mengejar mereka.
Aku mendapati keduanya duduk di dapur, saling berhadapan dan dipisahkan meja makan. Rachel menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Jerry melihat tajam ke arah Rachel. Aku seperti menemukan sosok ayah dan ibu dalam diri Jerry dan Rachel yang dulu sempat beberapa kali berkelahi karena masalah keluarga.
“Rachel… Jerry… ada apa ini?.” Aku tidak sadar mengeluarkan pertanyaan itu. Kemudian Jerry beralih menatapku dengan tajam.
“Namanya Bulan… Bulan Ayu Kusuma. Orang yang selama ini kamu cari. Dia adalah kakak tiriku.” Seperti dirajam ribuan batu kerikil aku mentap ke arah perempuan yang menangis tersedu-sedu. Dia Bulan. Bulan Ayu Kusuma. adik tiriku, anak kandung ibu angkatku. Aku tidak percaya. ini pasti tidak nyata.
“Dia selama ini orang yang kau cari, Gil. Maafkan aku yang tidak pernah mengatakannya. Aku hanya mau melindungi dia dari luka yang tidak selayaknya ia dapatkan.” 
Jerry kemudian menceritakan secara detail bahwa ia lahir di luar pernikahan dari perselingkuhan ayah Bulan dan ibu kandung Jerry. Ayah jerry ingin bertanggung jawab atas anak yang dikandung Ibu Jerry, maka dari itu Ayah jerry meninggalkan ibu kandung Bulan - ibu angkatku - dan membawa Bulan turut bersamanya. Ayah jerry selalu berkata bahwa Ibu kandung Bulanlah yang meninggalkan mereka sehingga menimbulkan kebencian yang amat mendalam di hati Bulan kepada ibunya.
Sampai Bulan SMA dan Jerry menamatkan pendidikan SMPnya, kehidupan keluarga mereka tidak harmonis. Ayah jerry berselingkuh lagi dengan sekertaris di kantornya, ibu Jerry tidak terima dan melarikan diri bersama Jerry dan Bulan. Kemudian antara Ibu jerry, Jerry dan Bulan banyak terjadi pertengkaran karena hal-hal yang tidak wajar. Kemudian Bulan kabur dari rumah dan tidak pernah diketahui keberadaannya.
Aku menitihkan air mataku. Jerry menepuk pundakku, entah kapan ia beranjak dari kursinya. “Kalau kamu sudah pulih, bawa dia ke ibu kandungnya.” Jerry kemudian meninggalkan aku dan Bulan.
“B… Bulan. Aku tahu bagaimana perasaan kamu. Aku sangat memahaminya. Tapi ketahuilah tidak ada seorang ibupun di dunia ini yang tega meninggalkan anaknya.” aku meraih kedua tangan Bulan. “Sekarang kamu ga perlu bohong lagi soal kehidupan kamu. Aku udah tau semuanya. Ayo… kita ke ibu kandung kamu.”
***
Bu, aku berhasil menemukan anak kandungmu yang selalu kau rindukan, gumamku senang. Aku tidak sabar untuk menemui ibu angkatku dan melihat wajah gembiranya setelah sekian tahun tidak bertemu anak kandungnya.


Harapan Indah, 1 Desember 2017
*Diangkat dari kisah nyata seorang teman di facebook, dengan beberapa perubahan.

Komentar